Selasa, 07 Juli 2009

KONTOVERSI MENGENAI ULOS BATAK

I. PENDAHULUAN
Ulos Batak adalah salah satu dari beberapa unsur material dari budaya Batak. Sebagai unsure material, ulos Batak tidak dapat dilepaskan dari orang Batak karena pada dulunya ulos Batak menjadi busana bagi orang Batak. Lain halnya dengan sekarang, oleh karena kemajuan teknologi, ulos Batak tidak lagi menjadi bahan busana bagi orang Batak. Di samping sebagai unsur material, orang Batak memandang ulos Batak bermakna simbolik, artinya memiliki makna khusus di luar sifat dan fungsi materialnya.
Mengenai ulos Batak sudah lama menjadi kontroversi di kalangan orang Kristen Batak. Bagi sebahagian kecil orang Kristen Batak, mereka anti terhadap ulos Batak kendatipun mereka suku Batak. Sikap anti itu sertamerta melakukan pembakaran terhadap ulos Batak. Menurut mereka di dalam ulos Batak itu ada keberhalaan karena dulunya ulos Batak dipakai dalam upacara penyembahan berhala. Sedangkan bagi sebahagian besar orang Kristen Batak, ulos Batak tetap dipelihara. Hal itu dapat kita lihat dalam adat istiadat, dalam kegiatan Gereja. Dengan kata lain, bersebrangan dengan sikap yang ditunjukkan oleh sebahagian yang anti terhadap ulos Batak.
Dari sudut pandang budaya; apakah memang salah memakai ulos Batak? Dari sudut iman Kristen, apakah ulos Batak itu bertentangan dengan iman Kristen?

II. PEMAKAIAN ULOS BATAK
Setiap kebudayaan selalu memiliki unsur-unsur material yang bermakna simbolik yang dipergunakan di dalam perayaan atau pelaksanaan adat. Salah satu unsur simbolik dalam kebudayaan Batak adalah ulos. Setiap pelaksanaan adat selalu dengan pemakaian ulos. Dengan demikian makna dan pemanfaatan ulos tidak dapat dilepaskan dari pelaksanaan dan makna adat Batak. Namun demikian, ulos bukan hanya bermakna simbolik sebagaimana dipahami di dalam adat, budaya dan kepercayaan religi Batak, tetapi juga bermakna konkrit dengan efisiensi ekonomis.
Pada satu sisi ulos dipahami sebagai bagian dari busana dan bahan tekstil dari produk home industry. Dalam pengertian ini, ulos memiliki nilai ekonomis yang laku dijual dan dibeli. Para penenun, penjual dan pembeli ulos selalu berpikir ekonomis, dengan perhitungan laba rugi. Pada suatu pabrik tenun, pekerjaan menenun merupakan lapangan pekerjaan yang dapat membangun ekonomi keluarga. Ulos juga dipakai sebagai busana, busana ulos bagi laki-laki bagian atas disebut sebagai handehande, bagian bawah disebut singkot, dan penutup kepala disebut talitali, bulangbulang atau detar. Sedangkan busana perempuan, pakaian bagian bawah yang dipakai sampai bahu disebut haen, bagian penutup bahu disebut hobahoba, tetapi kalau dipakai untuk mengendong anak disebut hohophohop dan bila dipakai sebagai selendang disebut ampeampe, sedangkan penutup kepala disebut saong. Sementara itu, masih ada ulos yang khusus dipakai untuk menggendong anak yang disebut parompa. Semua bahan busana ini adalah ditenun dan disebut ulos. Dengan demikian, pada sisi pandangan ini; mulai dari pembuatan, penjualan dan pembelian tidak ada hubungannya dengan pemahaman magis, ritual dan kepercayaan tertentu.
Pada sisi lain, ulos dipahami secara simbolik, dalam arti memiliki makna khusus di luar sifat dan fungsi materialnya. Ulos dapat merupakan pintapinta; permohonan, harapan atau doa, misalnya dengan permohonan mangulosi badan dan mangulosi tondi. Pada sudut pandangan ini, ulos memang dipahami memiliki makna melebihi fungsi materialnya karena bukan hanya berguna untuk kebutuhan jasmani tetapi juga untuk kebutuhan rohani. Sesuai dengan fungsi ini maka ada berbagai ulos Batak yang dipakai sesuai dengan makna simbolik dan makna permohonan yang masing-masing terkandung pada ulos tersebut, yaitu;
1. Ulos Jugia
2. Ulos Surisuri Ganjang
3. Ulos Ragidup
4. Ulos Mangiring
5. Ulos Ragihotang
6. Ulos Bintang Maratur
7. Ulos Sadum
8. Ulos Sitolutuho
9. Ulos Runjat
10. Ulos Jungkit
11. Ulos Sibolang
12. Ulos Parompa
Dalam sudut pandang kedua inilah lahir pemahaman simbolik, baik sebagai representasi pengganti unsur material maupun sebagai permohonan tentang kesehatan jasmani dan rohani, yaitu;
1. Ulos na tinonun sadari yang diberikan kepada seseorang yang hendak diulosi tetapi digantikan dalam bentuk uang.
2. Ulos na so ra buruk, yaitu pemberian ulos oleh pihak hulahula kepada borunya dalam bentuk material seperti sebidang tanah.
3. Ulos Tondi, bukan ulos ni tondi, yaitu suatu bentuk pintapinta atau permohonan, di mana pihak hulahula mangulosi borunya yang sedang mengandung anak pertama dengan maksud agar boru yang hendak melahirkan dikuatkan jasmani dan rohaninya ketika melahirkan anaknya, demikian juga dengan anak yang akan lahir sehat secara jasmani dan rohani.
Di daerah tertentu acara ini disebut mangirdak atau mambosari, artinya perempuan yang hamil tua dapat melahirkan dengan selamat, baik bayinya maupun dirinya sendiri.

Dengan melihat ragam ulos tersebut dan memperhatikan fungsi dan pemakaiannya maka bagi masyarakat Batak tradisional tempo dahulu pasti selalu berhubungan dengan ulos. Ke mana mereka pergi dan dalam tugas apapun yang dilakukannya mereka selalu membutuhkan ulos dalam kehidupannya seharihari. Artinya, orang Batak tidak mungkin mengabaikan apalagi meniadakan ulos dalam kehidupannya.
Namun setelah masyarakat Batak hidup dalam dunia modern, fungsi dan makna ulos sudah berkurang. Ulos sudah digantikan dengan baju, celana, jas, kebaya, sarung dan lain-lain untuk bahan pakaian laki-laki dan perempuan. Ulos tidak lagi dipakai sebagai busana, kecuali dalam hal-hal tertentu, misalnya untuk menunjukkan pakaian tradisional Batak. Pada masa kini pemakaian dan penggunaan ulos lebih dominan dipakai dalam arti nilai budaya yang bermakna simbolik dan pintapinta.


III. KETAKUTAN TERHADAP ULOS
Sebahagian kecil masyarakat Kristen Batak yang beraliran fundamentalis dan karismatis sangat takut terhadap ulos. Konon menurut mereka untuk membuat warna dasar ulos yaitu warna merah, nenek moyang orang Batak dahulu kala harus mempergunakan darah manusia (tetapi dalam membuat gorga ni ruma, ada marga Batak tertentu yang memiliki cerita seperti itu. Benar atau tidak, itupun tidak kita ketahui). Entah darimana sumber berita itu tidak kita ketahui. Akan tetapi berita itu sering diberitakan, bahkan dalam rangkaian penjelasan khotbah, hanya untuk menumbuhkan rasa takut dan untuk mengukuhkan bahwa ulos benar-benar berbau kekafiran. Benar atau tidak benar cerita itu tidak kita ketahui.
Para pengkhotbah dan oknum yang anti ulos juga sering memberitakan bahwa di dalam ulos itu ada berdiam setan, raja iblis. Hal itu terjadi, katanya, karena ulos tersebut dipakai sebagai alat dan media menyembah setan. Ketika orang Batak dahulu dan sekarang manortor mereka selalu memakai ulos, maka di dalam ulos tersebut mereka pastikan telah berdiam keberhalaan, begu dan setan. Dengan demikian, menurut mereka, satu-satunya cara untuk membasmi setan tersebut, maka ulos itu harus dibakar.
Benarkan di dalam ulos itu ada setan? Andaikan benar, apakah bila ulos dibakar, maka setan yang ada di dalam ulos itu ikut terbakar? Andaikan di dalam ulos itu ada setan dan kemudian dibakar, maka setan itu tentu tidak akan mungkin terbakar. Setan itu licik, tidak sebodoh orang yang membakar ulos itu. Andaikan benar di dalam ulos ada setan, maka ketika ulos itu dibakar, setan yang ada di dalam ulos itu mungkin akan menyerang yang membakar ulos itu. Akan tetapi hal itu tidak pernah terjadi, karena memang di dalam ulos itu tidak ada setan. Itu adalah tuduhan yang tidak beralasan dan mengada-ada. Motif pembakaran ulos sebenarnya adalah karena perasaan ketakutan yang berlebihan terhadap ulos itu sendiri.
Setan dan iblis dapat berdiam dan mendiami apa saja. Ia mungkin ada di suatu tempat, di suatu ruangan, di pohon, di kayu besar. Bahkan setan atau iblis juga mampu berdiam dan masuk ke tempat tinggal manusia. Andaikan semua tempat yang pernah dan yang mungkin didiami iblis atau setan harus dibakar, maka tindakan itulah yang justru disenangi iblis. Mengusir setan bukanlah dengan cara membakar tempat atau benda yang diduga tempat kediaman setan. Mengusir setan atau iblis adalah dengan iman kepada Yesus Kristus, mengundangnya agar Ia hadir di dalam tempat, ruang, benda dan kehidupan kita, sehingga tempat-tempat yang diduga berhala, kotor dan berdosa seperti kehidupan manusia akan menjadi tempat, benda dan manusia yang kudus karena telah dikuduskan oleh Roh Kudus.
Sebenarnya, ulos yang kita persoalkan sekarang bukanlah ulos yang ditenun oleh nenek moyang kita dahulu kala, bukan pula ulos yang dipakai untuk menyembah berhala, melainkan ulos yang ditenun oleh orang Kristen pada masa kini. Dulu para ibu atau na marbaju yang bekerja sebagai partonun sering diejek sebagai parkasuksak maka kesan kekafiran yang dituduhkan sama sekali tidak benar. Dalam membuat warna benang ulos partonun membuatnya dari zat-zat kimia. Demikian juga supaya ulos dapat hortang, partonun mengolesi benang yang akan ditonun dengan bubur nasi. Jadi sangat jelas kesan kekafiran tidak ada di sana.
Seorang partonun yang sudah ahli dapat menenun ulos mangiring paling cepat dalam tiga hari, dengan jam kerja 8 jam perhari melebihi jam kerja standard. Keuntungan bersih dari satu helai ulos mangiring tidak lebih dari Rp. 50.000,-. Melihat jerih payah mereka mencari nafkah, sebaiknya tidak ada lagi upaya orang-orang tertentu yang menggemborgemborkan berita yang justru menyengsarakan rakyat kecil itu.

IV. MENGKAMBINGHITAMKAN ULOS
Setelah melancarkan gerakan pembakaran ulos, ternyata mayoritas Kristen Batak tetap mempertahankan ulos sebagai bagian penting dari pelaksanaan adat kebudayaannya. Kampanye pembakaran ulos memang tuduhan bahwa ulos adalah alat menyembah berhala, tempat kediaman setan dan iblis, ternyata tidak meghilangkan kecintaan masyarakat Batak terhadap ulos sebagai unsur penting di dalam kebudayaannya. Oleh karena akhir-akhir ini muncul argumentasi baru, dengan memperalat nats-nats Alkitab, seolaholah Alkitab sebagai firman Tuhan melarang manusia memakai ulos Batak. Tuduhan terhadap ulos sebagai berhala dengan motif memperalat nats Alkitab dapat dilihat dalam uraian berikut;

“Jadi ndang holan na mangulosi manang na diulosi na sala. Mameop ulos Batak i pe ndang jadi! Ingkon padaonta do ulos Batak i sian jabunta. Ingkon ias do hita sian hasipelebeguon i. Ido na nidok ni Jesus: “Malua situtu”. Ra, adong na manugkun: Sala ulos Batak? Boasa sala? Alusna: Ai Krisatus i do diparuloshon hamu, sude hamu naung tardidi tu bagasan Kristus (Gal. 3:27). Holan sada do na berhak mangulosi tondi ni jolma ima Debata. Jala holan sada do ulos sian Debata, ima Kristus na tarsilang di dolok Golgata. Ndang jadi marangkuop Debata mangulosi hita. Ndang jadi tambaanta ulos sian Debata, ndang jadi ramunanta ulos na badia. Namangulosi manang na di ulosi na mardebata sileban do i; ai halak na manguloshon ulos i na merebut hajongjongan ni Debata do ibana di si; jala halak na ni ulosan i, na manjalo uos sian debata na leban do i”.

Dari uraian di atas ini sangat jelas memperalat nats Alkitab untuk mengatakan bahwa ulos Batak, memakai dan memilikinya adalah salah menurut nats Alkitab. Seolaholah Alkitab membicarakan ulos Batak. Alkitab tidak pernah berbicara tentang ulos Batak. Sekalipun ada berbagai kata ulos dalam Alkitab maka dipastikan yang dimaksud bukanlah ulos Batak.
Nats Galatia 3:27 dalam terjemahan bahasa Indonesia mengatakan: “Karena kamu semua yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus”. Jadi kata mamparuloshon diterjemahkan dengan mengenakan, dalam arti pakaian. Dengan demikian, arti nats ini adalah: orang yang sudah dibaptis dalam Kristus telah memakai Kristuis sebagai pakaiannya. Itu memang benar. Setiap orang Kristen telah berpakaian baru, mempunyai nama baru, yaitu pengikut Kristus. Akan tetapi itu bukan berarti kita tidak perlu pakaian. Sebab yang dimaksud bukanlah pakaian jasmani tetapi adalah pakaian rohani. Coba bayangkan misalnya andaikan Galatia 3:27 diterjemahkan dengan kata yang berbeda tetapi dengan makna yang sama dalam bahasa Batak: “Ai Kristus i do paheanmuna”, apakah itu berarti tidak perlu berpakaian jasmani lagi? Karena kita orang-orang yang telah dibaptis telah memakai pakaian Kristus, apakah itu berarti bahwa celana, baju, rok dan pakaian lainnya harus dibakar.

V. SOLUSI TEOLOGIS TERHADAP KONTOVERSI ULOS BATAK
Secara teologis-antropologis manusia tidak dapat berhubungan dengan Allah secara langsung tanpa suatu alat atau media perantara. Semua agama yang ada di dunia ini selalu memakai media yang ada pada budayanya sendiri untuk berhubungan dengan Allah. Korban bakaran seperti domba, lembu, merpati adalah media untuk memuji dan menyembah Tuhan. Hasil panen, bungabungaan, kemenyan dan berbagai wewangian adalah media untuk mengucapkan syukur dan memuliakan Tuhan. Semua media itu secara material sebenarnya tidak dibutuhkan Tuhan, tetapi Tuhan berkenan dengan media ucapan syukur tersebut. Hal itu terjadi bukan karena material medianya tetapi karena hati dan iman orang yang mempersembahkannya (bd. Maz. 50:7-15).
Uang juag dapat dipakai sebagai media persembahan dan ucapan syukur. Sama seperti ulos, berbagai unsur-unsur kebudayaan lainnya adalah juga media untuk mengekspresikan dan mengungkapkan iman, doa dan pengharapan kepada Tuhan. Uang dapat menjadi dosa kalau disalahgunakan dalam upaya memperoleh dan memanfaatkannya. Demikian juga ulos, dapat mengandung dosa bahkan hasipelebeguon, bila dipergunakan untuk menyembah setan atau iblis. Jadi uang sama seperti ulos tetap uang dan uilos – tetap media dan materi saja, hanya orang yang memakai dan memanfaatkannya yang berdosa bila dipergunakan bertentangan dengan kehendak Tuhan. Akan tetapi bila dipergunakan untuk menunjukkan dan mengungkapkan kebesaran nama Tuhan, maka ulos, uang dan media lainnya akan berkenan di hati Tuhan.
Apabila manusia menyapa, memuji dan berdoa kepada Tuhan maka manusia selalu memakai bahasa, prilaku dan sifat anthroprmorfis (antropos= manusia; morfe= bentuk) – sifat-sifat manusia. Dalam menyapa dan memuji Tuhan, Allah itu selalu dibayangkan persis seperti bentuk dan sifat manusia. Sehingga apabila manusia menyapa Allah dan menyebut keberadaan Allah maka sebutan yang dipakai adalah sesuai dengan gambaran manusia atau dari sudut kemanusiaan, misalnya; wajah Allah, tangan Tuhan dan lain-lain. Pada hal yang sebenarnya, Allah itu adalah Roh (Yoh. 4:24). Oleh karena itu cara manusia menyapa Allah secara anthromorfis adalah karena manusia tidak mungkin menyapa Allah dengan cara keilahian Allah sendiri. Manusia hanya dapat menyapa, memuji, menyembah, memohon dan berdoa kepada Allah hanya dengan cara dan sifat kemanusiaan manusia sendiri. Oleh karena sifat dan perilaku manusia yang paling melekat pada dirinya adalah di dalam kebudayaannya, maka adalah hal yang wajar dan biasa apabila manusia menyapa Allah dengan budayanya sendiri. Justru yang tidak wajar, tidak biasa dan aneh adalah apabila manusia menyembah Allah tidak dengan kebudayaannya sendiri.
Oleh karena itu dengan memperalat nats Alkitab untuk menuduh ulos Batak seolaholah dilarang di dalam Alkitab maka itu sama dengan mengkambinghitamkan ulos Batak sebagai sumber dosa, sumber keberhalaan dan mengandung debata sileban. Itu juga berarti mengkambinghitamkan orang-orang yang memakai ulos; yang mangulosi atau yang diulosi sebagai kambing hitam keberdosaan. Akan tetapi mengapa harus demikian? Penetapan seseorang berdosa atau tidak berdoa tidak terletak pada unsur-unsur material yang dipakainya. Bukan pula terletak pada ritus-ritus yang dilakukannya. Sebaliknya, seseorang dapat disebut suci, kudus atau benar sangat ditentukan oleh tujuan dari perbuatannya. Mangulosi atau diulosi memang dapat suatu perbuatan dosa kalau makna mangulosi atau diulosi itu dimaksud secara magis, misalnya berkat diperoleh dari ulos atau dari yang mangulosi tersebut. Akan tetapi mengulosi dan diulosi boleh dibenarkan, bila hal itu dipahami sebagai pintapinta, sebagai doa permohonan, di mana berkat yang diharapkan bukan dari ulos atau dari hulahula, tetapi dari Allah sumber berkat tersebut.